Assalamu'alaikum Selamat datang di blog emak-emak muda
Home| Numpang| Nampung| Nampang| Bikin Sendiri| Twitter| Facebook|

Senin, 25 Oktober 2010

Lapar

Ada yang bilang, lapar itu terkadang membuat orang menjadi nekad. Itu pula yang jadi alasan ketika seorang anak kecil harus minta-minta di lampu bangjo dengan modal tampang lusuh atau syukur syukur pakai ecrek-ecrek dari tutup botol minuman yang dipipihkan atau bahkan sambil memetik gitar ditambah suara cempreng khas anak jalanan. Standart mas Wawan Klantink hehe. Padahal kan seusia mereka harusnya menikmati hidup dengan banyak bermain. Atau kejahatan kecil-kecilan sampai yang kelas kakap dengan alasan yang sama karena urusan perut lapar.


Orang cenderung melakukan hal nekad karena tuntutan lapar. Kalau Bang Napi bilang kejahatan ada bukan hanya karena ada niat tapi juga kesempatan. Walaupun orang baik bilang makan untuk hidup bukan hidup untuk makan.
Seperti pengalamanku dan keluarga waktu perjalanan mudik lebaran ke Klaten. Berangkat dari rumah Batang selepas shalat asar. Pikirnya agar tidak kena macet di jalan. Tapi toh akhirnya kena macet juga di daerah Salatiga. Bahkan lebih lama dari perjalanan mudik biasanya. Bayangkan saja, berangkat dari Batang selepas asar, sampai di Klaten sekitar jam 12 malam. Padahal normalnya, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu 5 jam. Begitulah, tradisi mudik lebaran memang tidak ada matinya untuk orang Indonesia. Nggak mudik, nggak seru kalau kataku.

Bicara soal lapar, saat itu Adzan Maghrib sudah bergema di sela-sela perjalanan macet yang cukup panjang yang saya alami. Sambil tengok kanan kiri mencari tempat makan yang cocok. Cocok di lidah dan cocok juga tempat parkirnya. Setelah perjalanan yang lumayan panjang, Pae (sebutan untuk bapakku) menemukan tempat makan yang pas. Dari bagian depan  tempat makan itu sudah terlihat menarik. Saat itu masih sepi, belum ada pembeli satupun. Hanya aku dan keluargaku yang datang.

Mencoba melongok ke bagian penyaji makanan, terlihat seorang bapak separuh baya memakai kopyah yang mencoba menyapa tapi dengan wajah yang kaget campur bingung. Yang kemudian dengan nada bercanda Pae menyebut bapak separuh baya itu “Pak Haji”. Ternyata saat kami datang, tempat makan itu baru saja buka. Hanya ada satu pekerja yang membantu Pak Haji. Terlihat cukup kerepotan. Kemudian Pak Haji mempesilakan kami untuk duduk dulu atau shalat maghrib dulu sambil meminta maaf karena makanannya belum siap sama sekali.

Akhirnya saya sekeluarga shalat dulu. Ketika shalat, ada rombongan keluarga yang datang. Selepas shalat maghrib, pengunjung tempat makan itu lumayan banyak. Dan lebih parahnya lagi, saya dan keluarga masih harus menunggu dan menunggu. Bahkan ada rombongan keluarga yang akahirnya putar balik, mengurungkan niat untuk makan di situ. Sekitar setengah jam berikutnya, bala bantuan pelayan dating. Maklum, ternyata itu adalah usaha yang dikelola keluarga. Istri dan anak-anak yang biasa membantu Pak Haji melayan pembeli baru saja pulang dari jalan-jalan.

Saat itu, pembeli sudah mulai riuh, protes dengan pesanan yang tak kunjung datang. Pae dan Bue (sebutan untuk ibuku) sudah tampak tak sabar. Hingga akhirnya nekad swalayan, mengambil minum dan nasi sendiri. Aku dan adik baru dapat minum setelah memesan beberapa kali. Masih mencoba bersabar. Perjuangan menunggu tidak sampai disitu saja. Makanan yang seharusnya mampir ke meja saya sekeluarga, hanya numpang lewat pindah ke meja lain. Padahal jelas-jelas kami datang lebih dulu dari mereka. Sabar. Sabar. Sabar. Rasanya lapar sudah di ujung tanduk. Saya dan adik sudah mulai pasang muka tidak senang.

Sampai akhirnya adzan isya terdengar, saya dan adik belum dapat jatah juga. “Udah, shalat isya dulu saja, biar adem ni hati”, ajak saya ke adik. At least, selesai shalat isya,  aku dan adik baru menikmati makan. Memang enak, tapi kalau kataku, cukup sekali… (meniru lagu dangdut yang saya sendiri lupa apa judulnya). Yeah, cukup sekali makan disitu :D

*Di tengah jam kosong,
Senin, 25 Oktober 2010*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar